Musibah dalam Narasi Agama
Oleh. Mukti Ali Qusyairi (Ketua LBM PWNU DKI Jakarta)
Jakarta dan daerah penyangga, yaitu Bekasi, Depok, Bogor, dan Banten, pada tahun ini, 2020, kembali mengalami musibah banjir yang cukup parah. Banjir parah terjadi berjilid-jilid; yaitu awal tahun 2020, 23 Februari, dan 25 Februari. Di beberapa wilayah di Jawa dan Luar Jawa pun ada yang terkena musibah banjir. Airbah menyerbu perkampungan, kompleks perumahan, perkantoran, dan bahkan Istana. Mobil dan motor hanyut terbawa arus air yang begitu kuat menerjang. Ada rumah-rumah roboh. Ada nyawa melayang. Kerugian materi dan non-materi tak terkirakan.
Lalu bagaimana narasi agama dalam menyikapi musibah? Saya membagi ke dalam dua narasi, yaitu narasi agama sebelum terjadi musibah dan narasi agama setelah musibah itu terjadi.
Ikhtiar
Di dalam Al-Quran
terdapat 77 kata musibah. Sebagian ulama berpendapat bahwa musibah
adalah kejadian yang menyedihkan yang menimpa manusia. Sesuatu yang
kedatangannya tidak disukai oleh manusia. Musibah identik dengan bencana
dan malapetaka.
Sebagian ulama lain berpendapat bahwa musibah adalah segala sesuatu yang menimpa manusia, baik atau buruk, positif atau negatif, anugerah atau bencana. Ada musibah hasanah (baik) dan musibah sayyiah (buruk).
Pendapat pertama tersebut selaras dengan definisi kata musibah versi KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), yang dikatakan musibah adalah kejadian (peristiwa) menyedihkan yang menimpa. Dan dalam tulisan ini, saya menggunakan pengertian musibah menurut sebagian ulama yang pertama dan KBBI.
Imam Al-Ghazali membagi dua jenis musibah, yaitu musibah badaniyyun (bersifat fisik/materi) dan nafsiyyun (bersifat non-fisik). Keduanya bisa saling mempengaruhi. Musibah yang menimpa materi/fisik manusia akan berdampak pada mentalitas dan psikisnya. Sebaliknya, musibah yang menimpa mentalitas manusia akan berdampak pada materi/fisiknya. Karena itu, manusia harus bersabar dalam menyikapi musibah.
Di dalam narasi agama, terdapat beberapa penyebab terjadinya musibah. Di antaranya—dan yang paling utama—yaitu human error, yaitu keteledoran dan kesalahan manusia. Keteledoran itu bisa dilakukan oleh individu terhadap lingkungannya, seperti membuang sampah sembarangan atau menutup got jalan air, atau dilakukan oleh perusahaan terhadap lingkungan seperti menggunduli atau membakar hutan untuk kepentingan pabrik dan usahanya atau membuang limbang sembarangan atau problem amdal dan sederet problem yang lain, atau pemerintah melakukan pembiaran atas perusakan dan kerusakan lingkungan dan tidak melakukan ikhtiar secara maksimal dalam pencegahan musibah banjir.
Musibah yang disebabkan oleh human error telah dikatakan Al-Quran; “Adapun musibah yang menimpa kalian, akan merupakan hasil dari perbuatan tangan kalian sendiri” (Al-Syura: 30).
Dalam perspektif Islam, bahwa adalah wajib berikhtiar semaksimal mungkin agar terhindar atau tidak terkena segala bentuk musibah, misalkan banjir. Sebab, musibah merupakan hal yang dapat merusak yang harus dihindari. Dalam qawa’id al-fiqhiyah (kaidah-kaidah dasar fikih) dikatakan bahwa daru al-mafasid muqaddamun ‘ala jalbi al-mashalih (menghindari dan menolak kerusakan (madharat/mafsadat) harus diprioritaskan daripada mengambil kemaslahatan). Dalam hadits dikatakan ad-dhararu yuzal (madharat harus dihilangkan), dan la dharara wa la dhirar (tidak boleh merugikan/merusak diri sendiri, orang lain, dan lingkungan). Jika menggunakan prinsip ini, maka mengatasi musibah banjir dan musibah yang lainnya harus diprioritaskan daripada mengambil kemaslahatan sekalipun.
Ikhtiar menghindari dan menghalau berbagai jenis musibah pun demi mewujudkan maqashid al-syari’ah (tujuan-tujuan universal agama), yaitu menjaga jiwa (hifdzhu al-nafs), agama (al-din), akal, keluarga/keturunan (nasl), dan hartabenda (mal). Dampak musibah banjir sangat nyata di depan mata kita; yaitu menelan korban jiwa; di saat banjir pun ibadah dan ritual keagamaan tidak bisa khusyuk; aktivitas positif, sekolah dan mengaji, terganggu dan terpaksa diliburkan; tidak bisa kerja; aktifitas produktif lumpuh; psikologi mengalami kegalauan dan bahkan stres; kerusakan dan kerugian hartabenda tak terkirakan. Boleh dibilang, bahwa membiarkan musibah banjir sama saja dengan melanggar maqashid al-syari’ah.
Jika tidak ada human error dan ikhtiar sudah maksmial dilakukan dalam mencegah musibah, tetapi musibah tetap terjadi, maka hal ini suatu penegasan teologis bahwa manusia sejatinya tak punya dayaupaya dan tak punya kekuatan di hadapan Allah, la haula wa la quwwata illa billahi. Penegasan sikap tawadhu’ (redah hati), penegasan iman kepada takdir Allah, dan melatih kesabaran.
Akan tetapi, jika buru-buru mengatasnamakan musibah banjir sebagai takdir Tuhan tanpa melakukan ikhtiar secara maksimal, maka itu adalah sikap fatalistik dan mengingkari ikhtiar sebagai kewajiban yang harus dilakukan.
Kita dapat memetik pelajaran dari ungkapan sahabat Umar bin al-Khtahab yang memilih menghidari musibah dengan mengatakan, “Aku menghidar dari takdir Allah kepada takdir Allah yang lain”. Banjir adalah takdir Allah yang harus kita hindari, lalu kita memilih takdir Allah yang lain yaitu tidak banjiran.
Kita bisa memetik inspirasi dari Nabi Nuh As yang berikhtiar secara maksimal dan bersiap-siap dalam menghadapi banjir bandang dengan membuat perahu (safinah) dan mengisi berbagai kebutuhan pangan jauh sebelum waktu banjir itu tiba. Perahu Nuh disediakan bukan untuk pribadinya saja, melainkan juga untuk memberikan pertolongan kepada seluruh umat manusia dan binatang yang melata di bumi. Apa yang dilakukan Nabi Nuh selaras dengan pepatah, “siap payung sebelum hujan”.
Mental Menyikapi Musibah
Bagaimana jika musibah sudah kadung terjadi? Imam Al-Mawardi dalam
kitab Adab al-Dunya wa al-Din menyatakan bahwa seseorang yang terkena
musibah yang paling berat adalah mentalitasnya. Ia memberikan resep
dalam menyikapi musibah, agar manusia tetap bermental stabil dan ringan
dalam memikul beban. Pertama, menyadari segala sesuatu yang fana akan
sirnah, lepas dari genggaman, masa yang terbatas, dunia tidaklah abadi
dan makhluk tak ada yang kekal (baqa) di dunia.
Kedua, musibah adalah setetes dari limpahan nikmat dan rahmat Allah. Musibah pasti berlalu; sebelumnya tidak ada dan musibah pun tidak langgeng. Musibah berbatas waktu. Sedangkan nikmat dan rahmat-Nya tak berbatas.
Ketiga, manusia tahu cara menjaga diri dari musibah dan mencegah musibah yang akan datang yang lebih parah. Diberi husni ad-difa’ (sebaik-baiknya defen/pembelaan atau menangkal musibah), mencari solusi dan penangannya. Sebab, manusia yang menggunakan akalnya senantiasa mengambil pelajaran dari pengalaman hidupnya, termasuk mengambil pelajaran dari musibah nan pahit. Dengan demikian, manusia tidak terperosok ke lubang yang sama.
Keempat, menyadari bahwa hidup seringkali menghirup kebahagiaan seiring dengan kesengsaraan, nikmat seiring dengan musibah. Hidup tak selalu bahagia, dan tak selalu menderita. Hidup kadang Bahagia, dan kadang pula menderita. Menciptakan insan yang bijaksana, berpengalaman, sabar, dan tahan banting.
Kelima, berdoa dan husnu al-dzhan (baik sangka) kepada Allah, bahwa apa yang rusak dan hilang akibat musibah akan ada gantinya yang lebih baik dan ada hikmahnya. Ketika musibah terjadi, mengucapkan innalillahi wa innailaihi raji’un (Al-Baqarah: 156).
Keenam, wajib saling tolong menolong (ta’awun) dalam menyelamatkan yang terkena berbagai bentuk musibah, tak terkecuali banjir (Al-Maidah: 5:2). Sehingga banyak relawan yang membantu masyarakat yang terkena banjir. PWNU DKI Jakarta memiliki tim relawan yang cukup solid dan aktif khusus untuk membantu masyarakat Jakarta dan sekitarnya yang terkena banjir, yaitu LPBI NU (Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdhatul Ulama).
Alangkah baiknya jika LBM (Lembaga Bahtsul Masail) PWNU DKI Jakarta bekerjasama dengan LPBNU "berencana" mendiskusikan (membahtsulmasailkan) al-fiqh al-biah (fikih lingkungan) dengan mengkaji lingkungan dalam perspektif fikih dan diperkuat serta dielaborasi dengan hasil penelitian lapangan (al-istiqra) studi kasus Jakarta. Hasilnya sikap keagamaan yang bisa disosialisasikan ke masyarakat dan rekomendasi kepada pemerintah. InsyaAllah. []
0 Komentar